18 Desember 2009

apa persamaan gatot kaca dan anak jalanan?



Gatot Kaca termenung. Ia kuat. Ia kaya. Ia berkuasa. Namun ia kosong. Ia sendiri.
Gatot Kaca adalah anak penuh anugrah. Saat kecil ia mati melawan raksasa yang akan mengahcurkan Sawarga Maniloka, tempat kediaman para dewa. Setelah kalah dan badan terpisah dari ruh, ia dimasukan ke dalam kawah Candradimuka. Ajaib, ia bangkit kembali dengan tubuh dewasa. Otot kawat, tulang besi. Dengan kemampuan barunya, ia bisa menghancurkan sang raksasa dengan mudah sebelum Sawarga Maniloka luluh lantah.
Ia diberi berbagai kemampuan oleh para dewa. Ia bisa terbang. Ia kebal senjata tajam. Dan memiliki kemampuan hebat lainnya.
Di tengah kelebihannya yang banyak itu, para dewa sebaliknya hanya memberikan dua hal buruk bagi Gatot Kaca. Senjata Konta, dan masalah yang menimpa ayah dan pamannya dari kalangan Pandawa. Banyak kelebihan berbanding dua kekurangan, ia harusnya superior. Namun ‘hanya’ dua kelemahan itu yang membuatnya mati dalam hidup.
*****
Walau tubuh Gatot kaca berbentuk dewasa, namun hakikatnya ia masih anak-anak ketika dan setelah dimasukan ke kawah Candradimuka. Dengan psikologis masih labil, ia harus ditinggalkan oleh Bima, sang ayah, dan dan pamannya karena hukuman judi saat kalah lawan Kurawa.
Ia memang masih memiliki paman para raksasa dari ibunya. Ia juga masih memiliki Prabu Krisna yang terus menemani keluarga pandawa. Namun itu tak bisa menggantikan bimbingan dan kasih sayang orang tua. Di tengah kekosongan itu, ia merasa hanya dimanfaatkan oleh kerabatnya.
Karena kekuatannya, ia bertugas menjaga kerabatnya. Bahkan harus membantu melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan darma saat salah satu anak Arjuna memilih mengikuti hawa nafsu. Ia seolah bukan manusia, hanya senjata.
Perang Mahabrata adalah puncaknya. Di medan Kurusetra ia harus berperang dengan kerabatnya sendiri dari kalangan Kurawa. Dan tahu kah Anda? Ia harus dikorbankan. Harus tertusuk satu-satunya senjata yang bisa membunuhnya...
Senjata Kontawijayadanu, pusaka milik Adipati karna. Senjata dahsyat yang hanya bisa sekali digunakan. Gatot kaca dikorbankan agar senjata konta tidak membunuh Arjuna, panglima perang paling tampan, pintar, dan cekatan. Ia harus mati demi Arjuna.
Padahal ia sesungguhnya masih anak-anak tanpa kasih sayang orang tua.
*****
Kisah Gatot kaca ini mungkin adalah kisah klasik yang tak logis bagi sebagian orang. Namun lihatlah ia, tanpa kasih sayang orang tua. Sendiri harus menanggung beban dan bahaya. Fisik boleh sempurna, namun secara psikologis ia lemah, rentan, bahkan nyaris hancur.
Kisah lebih logis dan nyata terhampar di dekat kita. Anak jalanan. Mereka tak sekuat Gatot Kaca, namun beban mereka pun sangat besar. Mereka terkungkung oleh kebodohan, kekerasan, bahkan pelecehan seksual.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Atmajaya Jakarta menunjukan bahwa jumlah anak jalanan yang makin bertambah sebagian besar disebabkan oleh kondisi psikologis keluarga yang hancur. Anak-anak mencari jalan ke luar dari masalah keluarga tersebut dan masuk ke dalam lingkaran setan di jalanan. Hal ini sama dengan yang dialami Gatot Kaca dengan hancurnya keluarga.
Dari penelitian tersebut, dapat dikemukakan bahwa usaha untuk meminimalisasi anak jalanan adalah dengan memperbaiki kondisi psikologis keluarga di Indonesia. Hal ini bisa dilakukan dengan memperbaiki kondisi ekonomi keluarga miskin di Indonesia, yang merupakan penyebab utama hancurnya psikologis suatu keluarga.
Hal ini bisa dilakukan dengan pemerataan pembangunan. Pembangunan yang menurut Arief Budiman dalam bukunya, Teori pembangunan Dunia Ketiga, harus lah menyentuh aspek masyarakat sebagai subjek pembangunan, bukan objek, apalagi tidak terlibat dalam pembangunan.
Namun Anda bisa lihat sendiri pembangunan seperti apa yang terjadi di negeri ini. Saya akan menyebutkannya ngaco untuk meminimalisasi kata-kata buruk yang bisa terlontar. Anda dapat memilih kata-kata sendiri untuk mendeskripsikan pembangunan di tanah ibu pertiwi ini.

sumber foto:
elviera23.files.wordpress.com
2.bp.blogspot.com

waktu meninggalkanku

Habis sudah hari ini
Kalender memaksa tanggal untuk maju satu angka
Baru beberapa menit
Mungkin ditambah beberapa detik
Waktu seolah seorang diri di dunia ini
Seolah tak ada mahkluk lain
Berjalan sombong seorang diri
Meninggalkanku terbelakang
Tak mampu menyusul
Tertinggal
Saat ia terus melaju, aku tetap di sini
Tubuhku
Pikiranku
Dan kemampuannya
Kusadari manusia memiliki seribu keterbatasan
Namun kenapa keterbatasan itu kupelihara?
Menemaniku saat ditinggal sang waktu...

17 Desember 2009

Surat Om Pram untuk Perawan Indonesia


Om Pram. Orang banyak mungkin mengenalnya sebagai sastrawan. Lebih tepatnya novelis. Lalu bagaimana bila seorang Pramoedya Ananta Toer menulis surat. Surat setebal lebih dari 200 halaman. Surat bagi pembacanya yang lintas generasi, yang mudah disakiti, yang memiliki sisi lemah, yang sisi lemah itu walau banyak berkurang saat ini namun akan terus tertempel sebagai kodrat. Sebagai perempuan.

Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer adalah surat yang ia tulis selama masa pembuangan. Selama di Pulau Buru. Selama dihukum karena aroma PKI –Lekra- menempel pada dirinya. Buku ini menuliskan kisah penipuan, atau lebih tepatnya paksaan terhadap perawan remaja Indonesia selama masa penjajahan Jepang. Masa di mana rakyat Indonesia paling tersiksa. Tak peduli pria atau wanita, tua atau muda, kaya atau miskin. Tetap dihinggapi ‘kesialan’ akibat keserakahan Jepang.

Jugun Ianfu atau perempuan penghibur bagi bala tentara Jepang. Itu lah menu utama surat Om Pram ini. Kisah di balik propaganda Dai Nippon itu menyisakan rasa perih, malu, nista, namun seolah lenyap begitu saja.

Buku ini bukanlah fiksi-fiksi berisi alterego Tirtho Adhi Soerjo, tokoh pers pribumi pendiri Medan Prijaji pada 1907 sebagai Minke dalam Tetralogi Buru. Namun kisah nyata yang didasari wawancara terhadap pihak-pihak yang berhubungan dengan kebohongan Jepang dalam menarik minat perawan muda nan cantik untuk jadi pemuas nafsu biologis serdadu matahari terbit.

Kisahnya ditulis dengan cukup baik. Naratif. Sehingga kesan Om Pram sebagai penulis novel masih terasa kental dalam bukunya ini. Karena merupakan karya lama, beberapa kosa kata dan istilah menggunakan ‘barang lama’. Namun tak usah khawatir, karena penerbit menyediakan catatan kaki untuk memecahkan masalah tersebut.

Buku ini layak dibaca bagi pemerhati masalah perempuan, hukum perang internasional, dan siapa pun yang merasa mencintai bangsa ini.

Detail buku:

Judul : Perawan Dalam Cengkeraman Militer

Penulis : Pramoedya Ananta Toer,Koesalah Soebagyo Toer

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) 93S04801|24

Tahun Terbit : 2000

Jumlah Hal : 218

Berat Buku : 255 gram

Jenis Cover : Soft Cover

Dimensi (L x P) : 210 X 140 mm

27 September 2009

Pelarian Wayang Golek: Berubah!





Saat mebuka-buka majalah ekonomi berbahasa Inggris di sebuah toko buku, ada foto yang menarik perhatian saya. Foto ini manampilkan profil orang terkaya ke 76 di Indonesia yang sedang berpose di depan meja lobi perusahaannya. Ia adalah Sudhamek AWS.
Namun yang membuat saya tertarik bukanlah pemilik perusahaan makanan nasional ini. Melainkan sesosok boneka kayu yang berdiri penuh kharisma di meja lobi tersebut.
Setelah diperhatikan, ternyata sosok tersebut adalah Batara Kresna dalam dimensi Wayang Golek. Namun penasehat Pandawa dalam epik Mahabrata ini bukanlah Kresna yang biasa. Ia seolah bersolek sedemikian rupa agar matching dengan interior di lobi tersebut.
*****
Ternyata, bukan tanpa sebab Kresna berbubah. Apa yang terjadi pada Kresna adalah sebuah konsekuensi. Konsekuensi yang harus dipilih agar Wayang Golek seperti dirinya, tetap diterima di masyarakat yang sudah diberondong oleh kemajuan teknologi.
Agar Wayang Golek tidak hilang digerus kemajuan zaman ini, ternyata para pengrajin Wayang Golek memutar otak agar budaya warisan nenek moyang ini tetap “laku”. Mereka memodifikasi Wayang Golek agar sesuai dengan perkembangan zaman. Walau tidak semua seniman adat ini melakukannya.
Ternyata di balik usaha melestarikan kesenian Wayang Golek ini, ada sebuah perubahan yang cukup drastis. Wayang Golek yang sebelumnya dikenal sebagai sebuah seni pentas, kini bergulir menjadi sebuah karya seni rupa. Bentuk fisik Wayang sangat berkembang sesuai dengan keinginan masyarakat meninggalkan seni sastranya yang seolah stagnan dan dilupakan.
Hal inilah yang dirasakan oleh pakar seni rupa dari ITB, Drs. Yanyan Sunarya, M.Sn. Menurutnya, cerita Wayang yang hanya berkutat pada Ramayana dan Mahabarata tidak bisa terus mengikuti keinginan khalayak yang terus berubah. Sehingga untuk mengatasinya, beberapa seniman melakukan perubahan agar sesuai dengan masyarakat masa kini.
”Acara Wayang yang benar-benar sesuai pakem, isinya semua nasihat, dan menggunakan bahasa buhun, mungkin komunikatif pada zaman dulu. Namun kini zamannya sudah beda sehingga banyak dilakukan retouch,” terangnya.
Sementara pemerhati seni rupa, Ali Supojo Putro mengungkapkan bahwa perubahan yang dilakukan seniman Wayang Golek, terpengaruh pula oleh pola pikir yang mereka anut. Hal ini disebabkan karena beberapa seniman tetap memegang teguh bentuk asli Wayang yang “kuno” sebagai sebuah warisan. Mereka lebih memilih mempertahankan unsur nilai budaya ketimbang memperbaharui tampilan fisik yang lebih menjual.

*****
Di antara para seniman yang “melanggar pakem”, saya menemukan beberapa di Giriharja, Baleendah. Tempat ini adalah salah satu sentra budaya Wayang Golek di jawa Barat. Di tempat inilah para seniman Wayang Golek berkumpul, termasuk dalang yang telah mendunia, Asep Sunandar Sunarya.
Para seniman di sini merombak “karya tua” mereka. Hal tersebut dapat dilihat dari perubahan ukuran, bahan, anatomi, dan desain, namun image yang dimiliki tetap sama. Dalam membuat sebuah Wayang yang bermuatan seni dan budaya yang kuat, memang tidak sembarangan perubahan dapat dilakukan.
Pengembangan Wayang yang dilakukan pengrajin di Giriharja adalah manifestasi dari pergeseran nilai akibat pergeseran fungsi dari Wayang. Konsumen mereka yang sebagian besar dari luar negeri, menjadikan Wayang sebagai penghias rumah, bukan lagi sarana hiburan dan pendidikan.
”Masyarakat selain menginginkan karya seni yang adiluhung, juga pantas untuk dipajang karena memiliki nilai estetika,” tutur Barnas Sabunga, salah satu seniman di desa ini. Pesanan konsumen yang berkembang, menuntut ditemukannya ide-ide baru untuk membuat sebuah karya yang bermutu tinggi. Sehingga sebuah karya yang indah, atraktif, dan komunikatif, bisa dibuat.
Sesuai dengan fungsinya untuk memenuhi keinginan masyarakat modern, pengrajin memberlakukan kebijakan yang mengkiuti pesanan mereka. Misalnya memberikan kebebasan pada konsumen untuk memilih warna pada Wayang pesanannya. Sehingga Wayang yang konsumen pesan dapat dipilih sesuai selera dan kebutuhan mereka.
Contohnya konsumen dapat memesan pasangan Rama dan Sinta dengan balutan pakaian berwarna biru. Ini dilakukan agar sesuai dengan warna dekorasi di ruang tamu mereka. Akan tetapi tetap ada pakem yang tidak bisa dilanggar. Misalnya Hanoman harus berwarna putih atau wajah Rahwana harus tetap berwarna merah.
Alhasil, masyarakat memang menyukainya, terutama dari mancanegara yang menganggap hal-hal yang berbau oriental adalah eksotis. Namun, Wayang Golek yang dulunya meliuk indah ditangan dalang, kini lebih banyak nangkring di ruang tamu. Wayang-Wayang ini kini menjadi salah satu aksesoris interior yang paling diminati.

*****
Bagi konsumen dari dalam negeri, untuk memesan Wayang Golek sesuai dengan keinginan hati dapat dilakukan dengan mendatangi langsung sentra-sentra kerajinan. Dengan begitu dapat langsung berkonsultasi dengan para pengrajin.
Namun bagi konsumen dari luar negeri, pemesanan biasanya dilakukan lewat pihak ketiga yang juga berperan sebagai importir. Konsumen dari luar negeri memesan Wayang kepada importir yang kemudian “dipingpong-kan” ke pihak pengrajin. Dengan cara seperti ini, pengerjaan Wayang dan pengirimannya dapat dilakukan dalam satu jalur yang jelas.
Bahkan masyarakat luar negeri pun tak mau ketinggalan dalam memasarkan Wayang Golek. Contohnya dapat dilihat dalam salah satu situs di dunia maya. Beberapa orang yang telah mengenal pengrajin di Indonesia, melibatkan diri sebagai penyalur dalam bisnis ini.

Perubahan dalam diri Kresna dkk mungkin memang lebih disukai oleh masyarakat. Walaupun mereka harus “pensiun” dari pementasan dan menikmati “masa pensiunnya” di ruang tamu.
“Yang penting warisan nenek moyang kita itu tetap ada bersama kita,” tutur Mayang, seorang konsumen yang saya temui di salah satu galeri Wayang Golek.
Ya, mungkin hal itu benar juga. Lalau, apa Kamu tertarik untuk ikut melestarikan budaya sekaligus memiliki hiasan rumah atau kostan yang estetik?

21 September 2009

Segara Anakan: Perjalanan Menuju Surga di Pulau Sempu

“Selamat menikmati Surga”, ujar seorang wanita muda saat berpapasan di bibir pantai Pulau Sempu. Sebelum sempat menanyakan namanya, ia bergegas menaiki perahu yang hendak menjemputnya. Namun dari caranya berjalan yang terlihat lelah dan pakaiannya yang lusuh, apakah pulau ini benar-benar menawarkan surga? Maka tim ekspedisi Travel Trend ke pulau di selatan Malang, Jawa Timur ini mencari jawabannya untuk Anda.

Secara Administratif, Pulau Sempu masuk ke dalam Kabupaten Malang, Jawa Timur. Namun ia bukan Jawa, dan Anda harus menyeberangi selat untuk menginjakan kaki di pulau itu. Untuk sampai di tempat tersebut, Anda harus menyewa perahu dari pantai Sendang biru dengan tarif Rp.100 ribu pulang-pergi per perahu.

Sebelum menyeberang, Anda harus melakukan registrasi terlebih dahulu di sekretariat penjaga Pulau Sempu, di Sendang Biru. Di tempat tersebut, dengan tegas seorang petugas menyebut bahwa Segara Anakan adalah tempat utama di pulau tak berpenghuni itu. Sebuah laguna di sisi lain pulau tersebut. Dan ke sana lah tujuan kami.

Setelah menyebrangi selat selama sekitar lima menit, kami menginjakan kaki di Pulau Sempu. Hutan bakau yang tengah surut menjadi pintu masuk menuju pulau ini. Namun Anda harus berhati-hati karena di tempat ini banyak karang tajam yang dapat melukai kaki bila tidak hati-hati.

Untuk mencapai segara anakan, Anda harus menyusuri hutan ke sisi lain pulau. Perahu tak bisa mengantar Anda langsung ke Segara Anakan karena ombak sangat besar dari Samudra Hindia.

Hutan yang harus dilewati sebenarnya tidak memiliki kontur yang berat. Hanya terdapat beberapa tanjakan kecil. Namun bila pulau ini diguyur hujan, jalur menjadi becek, berlumpur, dan licin. Beberapa kali tim kami jatuh bangun di jalur ini.

Darah mengucur karena luka, keringat bercucuran, dan noda lumpur hampir di sekujur tubuh. Sempat teringat pada ucapan wanita muda di tepi pantai. Apakah benar kami menuju surga dunia?

Jalur hutan yang menjadi berat karena hujan sehari sebelumnya, dilewati dalam waktu sekitar dua jam. Namun selain medan yang licin, pohon yang tumbang menghalangi jalan pun ikut menemani perjalanan. Jalur seperti ini sangat cocok bagi Anda yang gemar wisata outdoor dan petualangan.

Nuansa hutan yang perawan menjadi sebuah latar bagi lintas alam yang menarik. Wisata ini sangat cocok bila dilakukan dalam kelompok. Selain berwisata membelah hutan, Anda bisa menikmati kerja sama saat melewati rawa, menyebrangi jembatan kayu, hingga bergelantungan di pohon.

Saat tanah yang Anda pijak berubah dengan didominasi oleh batu karang, maka itu adalah tanda bahwa Anda hampir sampai di Segoro Anakan. Dan setelah tertutup pohon-pohon di hutan, sebuah laguna tiba-tiba muncul di depan mata. Sebuah kejutan yang menyenangkan.

Danau air asin

Segoro anakan terlihat seperti sebuah danau. Ia dikelilingi oleh tebing tinggi yang rimbun oleh pepohonan. Airnya adalah air asin. Lalu bagaimana danau air asin ini bisa terbentuk?

Ternyata di bagian barat daya laguna ini, terdapat sebuah lubang di salah satu bagian tebing. Dari lubang tersebut, ombak besar dari samudra hindia menyicil air laut hingga menggenangi dataran tersebut.

Namun uniknya lagi, walau berupa danau, namun nuansa pantai sangat terasa. Ombak yang tenang saat laut surut bisa membuat Anda lupa bahwa ini adalah danau. Namun saat pasang laut naik, air laut yang terbawa ombak masuk ke lubang di tebing semakin besar. Ini membuat ombak di danau pun semakin liar.

Selain ombak, di sini pun terdapat pasir putih di bagian timur danau. Alam seolah memberikan tempat gratis untuk bermain dan berjemur layaknya di pantai. Bersama pepohonan khas hutan tropis, tebing, dan ombak, pasir putih di tempat ini menawarkan kolaborasi suasana antara pantai, hutan, dan danau.

Tembok Samudra

Bila berjalan ke arah tenggara danau ini, Anda akan menemukan sebuah tebing yang lebih pendek dari tebing-tebing disekitarnya. Tersusun dari karang berongga yang tajam, dibutuhkan kehati-hatian saat mendakinya.

Saat tiba di bagian atas tebing tersebut, lagi-lagi pulau ini memberikan kejutan yang menyenangkan. Dari atas sini, Anda akan langsung bertatap muka dengan Samudra Hindia. Hamparan laut biru berkolaborasi dengan warna biru miliki langit cerah. Tebing curam bentukan alam menambah keindahan kolaborasi ini menjadi berlipat-lipat.

Di atas tebing ini memang indah, namun juga berbagahya. Ada tiga hal yang harus Anda waspadai di tebing ini. Pertama adalah karang yang tajam, sehingga Anda harus menggunakan alas kaki agar tidak terluka.

Kedua adalah karang yang licin dan hembusan angin kencang yang bisa mendorong Anda jatuh ke jurang. Dan terakhir adalah ombak yang sangat besar yang bisa menyeret Anda ke laut. Bayangkan, walau tebing yang kami pijak kira-kira setinggi gedung tiga lantai dari permukaan laut, namun ombak yang menerjang bisa mencapai tiga meter di atas tebing.

“Gila, gila, ini gila… ,” teriak Alfred, kenalan asal Papua yang sangat terpukau melihat semua anugrah Tuhan ini. Tuhan memang maha adil, di mana setiap sesuatu yang indah harus ditempuh dengan pengorbanan. Seperti Mawar yang indah namun berduri, Segara Anakan adalah surga yang harus ditempuh lewat perjalanan “extreme” untuk dapat dinikmati.

Kini saya percaya pada ucapan wanita muda di ujung pulau tadi. Ini memang surga.

Saran dari kami

Untuk menikmati keindahan di kawasan Segoro anakan, kami sarankan Anda untuk berkamping di pinngir danau. Karena suasana segoro anakan yang tak akan habis dijelajahi dalam waktu singkat, sedangkan jasa penyebrangan terbatas, maka menginap adalah salah satu jalan keluarnya.

Namun ada beberapa hal yang sebaiknya Anda perhatikan. Menyeberanglah pada pagi hari karena dengan berjalan kaki selama sekitar dua jam, Anda bisa sampai di Segara Anakan pada siang hari. Sehingga waktu Anda cukup panjang untuk menjelajahi laguna tersebut.

Lalu pulanglah pada siang hari sehingga bisa mencapai bibir pantai di sisi lain pulau pada sore hari. Karena jasa penyebrangan hanya melayani hingga pukul lima usore, sehingga Anda bisa sampai kembali ke Sendang Biru dan menginjakan kaki di Jawa.

How to get there

Kota terdekat adalah Malang. Menuju kota ini, selain dengan kendaraan pribadi, Anda bisa menggunakan berbagai fasilitas kendaraan umum. Anda bisa menggunakan berbagai bis menuju Malang…

Untuk menuju Sendang Biru, perjalana bisa dimulai dari Kota Malang. Anda bisa menggunakan kendaraan pribadi dengan mengikuti petunjuk jalan yang telah ada semenjak kota. Apabila Anda datang dengan rombongan dan tidak membawa kendaraan pribadi, kami sarankan untuk menyewa kendaraan. Dengan biaya sekitar Rp. 300 ribu per kendaraan, Anda bisa diantar langsung menuju pantai Sendang Biru.

Perjalanan darat ini menempuh jarak sekitar 65 KM dengan waktu tempuh sekitar tiga jam. Di perjalanan, Anda akan melihat pemandangan yang bervariasi. Anda bisa terjebak dalam kepadatan kota, suasana pedesaan, kemudian ladang tebu penduduk, perbukitan yang hijau, hingga tiba-tiba pantai Sindang Biru menyambut Anda setelah menuruni bukit.

Enjoy Responsibly

Kira-kira bermula dari chat saya dengan sorang teman KKN waktu di Pangumbahan, Sukabumi. Kita sebut saya dia Nandang. Kita sebut begitu memang karena itu namanya. Kalo tidak salah percakapan kami seperi ini:

Nandang : minal aidin, hampura urang loba dosa (maaf, Saya banyak dosa)

Saya : sami2, tong sakali-kali deuinya, mun dua-tilu kali meunang (sama2, jangan sekali-sekali lagi ya, kalo dua-tiga kali boleh)

Nandang : hahaha, bae weh kan engke ge lebaran deui (biarin kan nanti juga lebaran lagi)

Saya : tidak harus menunggu lebaran untuk bermaafan, pas nyepi bisa, natal bisa, waisak bisa—sungguh saat itu tak ada pikiran Saya untuk sok bijak

Nandang : hahaha, maneh agama naon? (kamu agamanya apa?)

Seolah keluar begitu saja tanpa dipikir, Saya menjawab:

“Heineken!, Enjoy Responsibly!” (maaf dang, saya lupa kamu ada masalah dengan linguistik)

Saya lupa apakah enjoy responsibly itu hanya ada di botol Heineken, atau ada di botol minuman keras lain. Atau mungkin sama sekali tidak ada di botol Belanda itu. Tapi walaupun nggak sengaja, enjoy responsibly ada makna agama di dalamnya.

Enjoy: agama kan katanya membawa kebaikan. Maka kebaikan yang indah itu akan kita nikmati. Responsibly: saya tidak bisa menjelaskannya dengan baik. Mungkin maksudnya karena kita berdampingan dengan miliaran homo sapiens lain, makanya gak boleh berbuat sembarangan. Atau karena setiap perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.

Tiba-tiba inget masalah agama, lalu Saya inget karena musimnya ramadhan ama lebaran, makanya banyak masukan spiritual yang saya terima. Acara talk show di TVone misalnya. Saat itu, stasiun Bakrie ini menghadirkan Mario Teguh, si bijak berrambut kepala jarang yang Sahabat Zuper itu. Dia bilang kalau muslim Indonesia itu masih banyak yang salah kaprah. Misalnya puasa itu menahan nafsu, namun justru belanja di bulan suci ini jauh melambung dari bulan biasa.

Betul pak Mario!!! Saat-saat seperti ini biaya untuk belanja meningkat. Berita di TV dan Koran mengangkat tema meningkatnya harga cabe dan teman-teman di pasar. Ajakan buka bersama menjamur. Malah ada tradisi harus membeli baju baru, celana baru, sarung baru atau apapun yang baru biar gak malu sama tetangga.

Belum lagi keharusan untuk mudik dan membawa oleh-oleh buat saudara di kampung। Bukan karena perintah agama, karena Saya rasa tidak ada perintah agama untuk mudik dan mewajibkan membawa oleh-oleh. Tapi ini tradisi yang telah berevolusi menjadi kewajiban. Kalau enggak, apa kata tetangga?! Kewajiban ini telah merusak puasa kalau kata Saya. Karena keharusan ini nggak sesuai dengan prinsip kesederhanaan dan pengekangan nafsu ala bulan ramadhan.


Lalu ada lagi. Teman kuliah Saya, namanya Ahmad Faisal Nurghani. Karena kepanjangan kita panggil saja dia Ical. Si Ical ini sekonyong-konyong datang ke rumah orang tua Saya, tempat Saya nebeng sampai saat ini. Dia maen internet, baca majalah National Geographic, dan tidur. Padahal niatnya adalah mengajak saya menyantroni launching bukunya Pidi Baiq, Drunken Marmut. Dengan susah payah saya menyadarkan dia untuk kembali ingat pada niat mulianya itu. Dan akhirnya berhasil.

Singkatnya kami menikmati acara launching di Gedung Indonesia Menggugat ini, walaupun lebih tepatnya dibilang konser Pidi. Sangat menikmati. Apalagi makanan saat berbukanya. Nikmat sekali. Terima kasih Pidi Baiq.

Setelah solat maghrib dan makan (tentu saja), acara dilanjutkan, yaitu sharing. Pidi bercerita tentang agama, karena dia bilang “walaupun tidak taraweh kita harus membicarakan agama, agar terlihat islami”. Yang tinggal di sana tinggal segelintir orang, yang lainnya SMP (Sudah Makan Pulang), masih untung bukan Sudah Makan Pingsan (karena makanannya beracun). Tapi Saya tidak perduli sama mereka, atau menanyakan mereka mau pada kemana. Karena memang Saya tidak kenal mereka.

Saat itu Haji Pidi (Saya pakai gelar haji biar keliatan lebih agamis) mengatakan kalau dia kurang setuju dengan orang mengaji menggunakan toa. Tentu saja di mesjid, ngapain juga di rumah masang toa. Kecuali mungkin kalau di rumahnya jualan toa. Dia tidak setuju karena menganggap mengganggu tetangga, apalagi kalau lagi enak-enak tidur… dan “Tuhan pun tidak tuli sehingga hanya bisa mendengarkan kita mengingat nama-Nya bila memakai pengeras suara” ucapannya yang selalu Saya ingat.

Mungkin maksud orang-orang yang mengaji dengan memakai toa adalah untuk mengajak tetangga mereka untuk mengaji bersama. Mulia memang. Namun apakah benar itu niatnya. Atau justru ada bahaya laten. Bahaya sangat bahaya yang tersembunyi, tak disadari. Yaitu ria.

Bagaimana kalau terselip pikiran “woy orang-orang malas, gua punya toa bagus, keraskan suaranya?!”, atau “hey orang-orang bego, nih dengerin gua bisa ngaji, baguskan tadjwidnya?!” atau bahkan “iseng ah, biar eksis!”। Wah-wah bahaya…


Masih ada lagi. Saya menonton film lama yang lucu. God Must be Crazy. “Tuhan pasti sinting” kata Xi karena telah menurunkan botol Coca Cola kosong yang mengakibatkan malapetaka bagi sukunya, atau lebih tepat keluarganya. Karena satu suku isinya keluarganya semua.

Walaupun lucu, Saya menyalahkan Xi karena menganggap Tuhan telah sinting. Walaupun itu Cuma film, walaupun Tuhannya berbeda dengan Tuhan yang Saya percaya, dan walaupun dia orang Bostwana. Saya menyalahkan karena dia bodoh, dan syukur kebodohannya tidak membunuh puluhan atau ratusan orang.

Xi dan keluarganya tidak mengerti Tuhan. Salah menafsirkan Tuhan yang disertai salah mempersepsi orang lain yang diinterpretasikan melalui teknologi yang bernama botol. Dengan kemampuan kognitif seadanya, ia salah menafsirkan botol yang hasil temuan orang lain dari luar kampungnya itu. Dan menyalahkan Tuhan sebagai biang keroknya.

Bayangkan bila pemahaman seperti ini ada di dunia nyata. Tak perlu dibayangkan sebenarnya, karena memang sudah kejadian. Misalnya orang mengatasnamakan agama dan perintah Tuhannya untuk menyerang orang lain. Perang Palestina-Israel, terorisme di Indonesia, Penjajahan Spanyol di Amerika Selatan dan Tengah, dll.

Semua mengatasnamakan agama. Palestina melawan Israel seperti Islam melawan Yahudi. Padahal itu soal politik dan wilayah. Golda Meir, mantan Perdana Mentri Israel saja seorang Atheis, jadi ngapain bawa-bawa agama. Terorisme yang memakai bendera islam menganggap semua yang bukan kaumnya harus dibunuh dan bila ia mati akan mati Syahid. Perasaan kaum muslim banyak yang meninggal, bukannya membunuh sesama muslim adalah dosa besar? Yakin akan mati Syahid? Perasaan Rosululloh tidak pernah menyarankan untuk mati dengan cara seperti itu. Atau Spanyol mau menyebarkan Kristen di Amerika Selatan dan Tengah, ko malah menguras Emas dan menjadikan orang asli sana sebagai budak?

****************

Kalo bicara agama emang bisa panjang. Tapi Saya malas menuliskannya lagi karena Lucky Strike Saya sudah habis. Yang ingin Saya bagi di sini adalah apakah semangat Ramadhan dan lebaran telah kita pahami, bukan saja secara spiritual, namun juga sosial. Saya saja masih belajar.

Daud Ibrahim Shawni dalam bukunya Iblis Menggugat Tuhan menuliskan bahwa tanpa sikap kritis kita akan terjerumus ke lubang yang gelap karena kebodohan. Kebodohan akan hilang dengan bepikir. Saya berpikir maka Saya ada kata si Rene Descartes. Berpikir apakah kita menyalahi ajaran agama atau enggak. Berpikir tentang orang yang berbeda supaya mengerti dan tidak salah sangka.

Maka dengan berpikir apakah kita telah berjalan sesuai jalur yang dibuat Tuhan dalam agamanya, akan melahirkan kedamaian tidak saja bagi pemeluknya, namun bagi seluruh umat manusia, humanrace. Kalo udah gitu kita bisa menikmati nikmatnya hidup karena bertanggung jawab sama apa yang kita percaya.

Enjoy Responsibly…

Saya pun berpikir kalo Saya banyak salah, banyak dosa sama orang-orang. Makanya karena Saya mengkritisi diri Saya yang banyak dosa ini, Saya meminta maaf sama banyak orang ini. Saya mengaku salah dan meminta belas kasihan semua dengan mau menerima maaf dan melupakan dosa yang telah lalu. Kalau saling memaafkan hidup akan jauh lebih indah.

Selamat Idul Fitri 1430 H……