06 April 2010

Cerita dari Dapur Umum Pengungsi (3)

Ada Cinta di Dalam Tenda

Urusan cinta, relawan PMI punya cerita sendiri. Khususnya personel yang bertugas di dapur umum untuk menyuplai makanan kepada para korban di pengungsian. Ada cinta di dalam tenda.

Bagi yang sudah memiliki pasangan atau kekasih, menjadi relawan bisa menyisakan rindu. Bila bisa saling percaya, kekasih bisa menjadi pendukung dan pemberi semangat dalam menjalani tugas kemanusiaan. Namun bila tidak, ternyata tidak perlu khawatir.

"Di sini justru pada nyari jodoh," seloroh Kartomi Galangsaputra (24), seorang relawan PMI Kabupaten Bandung.

Ternyata, kisah cinta di dalam tenda dapur umum seolah menjadi rahasia umum di kalangan relawan. Padatnya kegiatan dengan orang yang itu-itu saja selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, bisa berlanjut ke kehidupan pribadi.

"Banyak yang habis jadi relawan, eh jadi pacaran," seloroh pria periang ini.

Bukan hanya sebatas pacaran, jenjang pernikahan pun tak jarang mengikat dua insan manusia yang dulunya bekerja sama di bawah naungan tenda.

"Banyak banget, gak kehitung," ungkapnya sambil tak bisa menahan tawa.

Banyaknya mahasiswa yang menjadi relawan, menambah peluang pencarian jodoh di kalangan mahasiswa sendiri. Setidaknya, 5 perguruan tinggi di Kabupaten dan Kota Bandung mengirimkan 5-10 mahasiswa yang secara bergantian membantu relawan PMI. Bisa dibayangkan saat minimal ada 25 pemuda-pemudi yang mayoritas lajang bertemu di hari Minggu, percikan rasa bisa muncul.

"Emang ada, tapi aku mah enggak," kilah Eni Nuraini (23) dari sebuah universitas swasta di Kota Bandung sambil malu-malu.

Selain 'menikmati' ajang pencarian jodoh, ternyata relawan pun harus pintar-pintar milih jodoh. Pemilihan jodoh ini dengan pertimbangan konsekuensi relawan yang sering meninggalkan rumah minimal selama beberapa minggu. Tanpa pemilihan pasangan yang dapat mengerti mereka, keutuhan keluarga bisa dipertaruhkan.

"Makanya mesti milih yang bisa ngertiin kita," curhat Dikcy Perdana (29) koordinator dapur umum PMI yang telah dikaruniai 3 orang anak.

Pemilihan pasangan hidup para relawan akhirnya dicari dari kalangan yang memiliki aroma tak jauh dari kegiatan palang merah. Selain sesama relawan, kandidat pendamping hidup bisa dicari semisal pembimbing PMR di sekolah-sekolah.

"Nggak akan jauh-jauh nyari jodohnya," seloroh pria berkulit gelap ini.

Cerita dari Dapur Umum Pengungsi (2)

Ditodong Samurai Karena Nasi Kurang

Bagi relawan dapur umum di lokasi bencana, pengalaman duka biasanya lebih mudah dijabarkan daripada pengalaman manis. Bagaimana tidak? Hidup mereka seolah harus direlakan demi orang lain, yang bahkan belum tentu mereka kenal.

"Banyaklah pengalaman yang kurang ngenakin," ucap Dicky Permana (29) koordinator dapur umum PMI, Senin (8/2/2010).

Kangen pada keluarga, adalah pengalaman paling umum dialami para sukarelawan. Waktu berminggu-minggu bisa dihabiskan dengan meninggalkan keluarga di rumah.

"Bisa aja pulang, tapi cuman ganti baju terus balik lagi ke sini," timpal, M. Fitriyadi (27) yang mendampingi sang koordinator dengan setia.

Tak jarang relawan pun merasa 'makan hati' saat membaca pemberitaan kurangnya makanan bagi pengungsi di media massa. Mereka merasa kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhan korban tidaklah mudah. Ditambah persediaan logistik dan tenaga relawan pun ada batasnya.

"Sebenarnya bisa saja kami cukupkan makanan untuk semua pengungsi saat ini, tapi besok mereka mau makan apa?" ujar Dicky.

Tak berhenti sampai di sini, pengalaman buruk akibat pemberitaan pun pernah mengancam nyawa mereka. Kejadian ini terjadi saat menjadi relawan di Pangalengan yang tertimpa gempa. Seorang warga membaca berita tentang banyaknya bahan makanan yang tertumpuk, sementara para korban kekurangan makanan. Ia naik pitam dan mendatangi dapur umum sambil membawa samurai.

"Untung bisa kami jelaskan baik-baik, kalau bahan makanan itu tidak di sini. Kalau ada di sini, sudah kami buatkan makanan dari dulu juga," ceritanya.

Masalah membagi waktu pun kerap menyulitkan mereka. Jam kerja yang bisa mulai dari jam 2 pagi hingga jam 10 malam membuat mereka kadang lupa diri. Beberapa orang lupa menghubungi keluarga, beberapa lupa menjaga kesehatan, bahkan beberapa lagi lupa mandi.

"Tuh, yang pake baju ijo gak pernah mandi," seloroh Dicky sambil menunjuk temannya yang sedang memasak lauk pauk untuk pengungsi.

Pengalaman buruk pun pernah mereka alami saat membuka dapur umum di Baleendah menjalang Pemilu legislatif tahun 2009 lalu. Dicky mengatakan, ada donatur yang merupakan salah satu calon anggota legislatif di DPR. Tanpa sepengetahuan mereka, tim sukses sang caleg memberikan cap bergambar nama si Caleg dan partainya pada bungkus nasi yang dibagikan pada pengungsi.

"Kita kecolongan waktu itu, padahal PMI tak boleh didomplengi siapa pun. Kami ambil hikmahnya saja," kenang pria yang sehari-hari bertugas Kepala Sub Seksi Penanggulangan Bencana di PMI Kab Bandung.

Tak hanya menghadapi pemberitaan, korban yang labil, hingga orang-orang yang mencari keuntungan di atas kesulitan orang lain, relawan yang telah 'setia' bersama PMI pun sering dipusingkan karena sikap pemerintah yang masih bertindak secara parsial. Dicky mengatakan, mengatasi banjir di aliran Citarum harus dilakukan dari hulu hingga hilir. Bila hanya diperlebar di beberapa lokasi, hal itu hanya akan memindahkan banjir dari satu lokasi ke lokasi lain.

"Kalau enggak kapan beresnya," imbuhnya.

Sayangnya, PMI tidak memiliki kekuatan untuk banyak memberikan perubahan dalam hal tersebut. Hanya sebatas advokasi tentang kenyataan di lapangan karena terikat oleh kode etik palang merah. Sisanya, siap-siap saja meninggalkan keluarga demi kemanusiaan.

Cerita dari Dapur Umum Pengungsi (1)

Antara Panggilan dan Kepuasan




Waktu menunjukkan jam 5 sore, artinya nasi bungkus untuk makan malam harus didistribusikan ke tangan pengungsi korban banjir Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Namun nasi baru selesai ditanak, dan lauk pauk masih ada di dalam penggorengan. Tenda peleton berwarna biru tua di halaman kantor Kecamatan Baleendah yang jadi dapur umum terasa semakin pengap.

"Kita telat, soalnya logistik dari kecamatan telat juga," ujar Dicky Permana (29) koordinator dapur umum PMI, Senin (8/2/2010).

Suara penggorengan beradu suara mulut-mulut yang mencoba melepaskan kepanikan karena pendistribusian makanan terlambat. Dengan kerja keras, sekitar jam 7 malam nasi bungkus kedua untuk hari ini bisa dinikmati ribuan pengungsi yang masih berdesakan di tiga titik, yaitu gedung PDIP, Gor KNIP, dan GORr Baleendah.

"Kirim ke Gor Baleendah dulu," komando Dicky pada rekannya.

Mereka sudah 10 hari berada di tempat ini, terhitung sejak Sabtu (30/1/2010). Menyediakan makanan bagi orang-orang yang sesungguhnya tidak mereka kenal. Dan yang pasti, meninggalkan keluarga dan orang-orang yang mencintai mereka. Lalu apa yang mereka cari?

"Kami di sini sudah panggilan hati. Beginilah kalau jadi PMI," ujar pria ramah ini.

Panggilan hati, itulah alasan mereka bekerja keras tanpa fasilitas memadai. Panggilan hati yang berbuah kepuasan batin setelah berbuat amal kebaikan.

"Kepuasan batin yang kami dapatkan," timpal M. Fitriyadi (27) yang telah bergabung dengan PMI Kabupaten Bandung sejak 2005 lalu.

Ternyata untuk memiliki panggilan hati yang dapat menghasilkan kepuasan batin bukanlah perkara instan. Untuk memiliki panggilan hati seperti ini, latar belakang kegiatan serupa cukup diperhatikan. Setidaknya hal ini terlihat dari banyaknya sukarelawan yang pernah menjadi anggota palang Merah remaja (PMR) atau Korps Suka Rela (KSR) di kampus mereka dulu.

"Biasanya yang menjadi sukarelawan di PMI adalah orang-orang seperti itu," lanjut Fitriyadi.

Panggilan hati ini juga bukan hanya soal kemanusiaan. Namun juga 'keluarga' yang seakan ditakdirkan bertemu di dapur umum. Mereka relawan yang terpecah saat tak ada bencana, sampai musibah kembali menyatukan.

"Bagi kami ini sih sudah kayak reuni," Dicky menimpali. Layaknya keluarga sesungguhnya, setiap kesempatan seolah tak ingin mereka lewatkan begitu saja. Canda tawa selalu terdengar walau mereka sadar tugas yang diemban tidaklah ringan. Kondisi ini sengaja dicoptakan sebagai stress management, agar mereka tak sampai pada titik jenuh yang berakibat kinerja mereka menurun.

"Biar tetep semangat," tutur Dicky.

Kini waktu menunjukan jam 10 malam, sementara hujan masih mengguyur kawasan Bandung Raya. Tenda yang kering terasa hangat dengan 'keluarga' yang berkumpul di tengahnya. Melepaskan lelah lewat saling bercengkrama dengan 'keluarga' mereka.