18 Desember 2009

apa persamaan gatot kaca dan anak jalanan?



Gatot Kaca termenung. Ia kuat. Ia kaya. Ia berkuasa. Namun ia kosong. Ia sendiri.
Gatot Kaca adalah anak penuh anugrah. Saat kecil ia mati melawan raksasa yang akan mengahcurkan Sawarga Maniloka, tempat kediaman para dewa. Setelah kalah dan badan terpisah dari ruh, ia dimasukan ke dalam kawah Candradimuka. Ajaib, ia bangkit kembali dengan tubuh dewasa. Otot kawat, tulang besi. Dengan kemampuan barunya, ia bisa menghancurkan sang raksasa dengan mudah sebelum Sawarga Maniloka luluh lantah.
Ia diberi berbagai kemampuan oleh para dewa. Ia bisa terbang. Ia kebal senjata tajam. Dan memiliki kemampuan hebat lainnya.
Di tengah kelebihannya yang banyak itu, para dewa sebaliknya hanya memberikan dua hal buruk bagi Gatot Kaca. Senjata Konta, dan masalah yang menimpa ayah dan pamannya dari kalangan Pandawa. Banyak kelebihan berbanding dua kekurangan, ia harusnya superior. Namun ‘hanya’ dua kelemahan itu yang membuatnya mati dalam hidup.
*****
Walau tubuh Gatot kaca berbentuk dewasa, namun hakikatnya ia masih anak-anak ketika dan setelah dimasukan ke kawah Candradimuka. Dengan psikologis masih labil, ia harus ditinggalkan oleh Bima, sang ayah, dan dan pamannya karena hukuman judi saat kalah lawan Kurawa.
Ia memang masih memiliki paman para raksasa dari ibunya. Ia juga masih memiliki Prabu Krisna yang terus menemani keluarga pandawa. Namun itu tak bisa menggantikan bimbingan dan kasih sayang orang tua. Di tengah kekosongan itu, ia merasa hanya dimanfaatkan oleh kerabatnya.
Karena kekuatannya, ia bertugas menjaga kerabatnya. Bahkan harus membantu melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan darma saat salah satu anak Arjuna memilih mengikuti hawa nafsu. Ia seolah bukan manusia, hanya senjata.
Perang Mahabrata adalah puncaknya. Di medan Kurusetra ia harus berperang dengan kerabatnya sendiri dari kalangan Kurawa. Dan tahu kah Anda? Ia harus dikorbankan. Harus tertusuk satu-satunya senjata yang bisa membunuhnya...
Senjata Kontawijayadanu, pusaka milik Adipati karna. Senjata dahsyat yang hanya bisa sekali digunakan. Gatot kaca dikorbankan agar senjata konta tidak membunuh Arjuna, panglima perang paling tampan, pintar, dan cekatan. Ia harus mati demi Arjuna.
Padahal ia sesungguhnya masih anak-anak tanpa kasih sayang orang tua.
*****
Kisah Gatot kaca ini mungkin adalah kisah klasik yang tak logis bagi sebagian orang. Namun lihatlah ia, tanpa kasih sayang orang tua. Sendiri harus menanggung beban dan bahaya. Fisik boleh sempurna, namun secara psikologis ia lemah, rentan, bahkan nyaris hancur.
Kisah lebih logis dan nyata terhampar di dekat kita. Anak jalanan. Mereka tak sekuat Gatot Kaca, namun beban mereka pun sangat besar. Mereka terkungkung oleh kebodohan, kekerasan, bahkan pelecehan seksual.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Atmajaya Jakarta menunjukan bahwa jumlah anak jalanan yang makin bertambah sebagian besar disebabkan oleh kondisi psikologis keluarga yang hancur. Anak-anak mencari jalan ke luar dari masalah keluarga tersebut dan masuk ke dalam lingkaran setan di jalanan. Hal ini sama dengan yang dialami Gatot Kaca dengan hancurnya keluarga.
Dari penelitian tersebut, dapat dikemukakan bahwa usaha untuk meminimalisasi anak jalanan adalah dengan memperbaiki kondisi psikologis keluarga di Indonesia. Hal ini bisa dilakukan dengan memperbaiki kondisi ekonomi keluarga miskin di Indonesia, yang merupakan penyebab utama hancurnya psikologis suatu keluarga.
Hal ini bisa dilakukan dengan pemerataan pembangunan. Pembangunan yang menurut Arief Budiman dalam bukunya, Teori pembangunan Dunia Ketiga, harus lah menyentuh aspek masyarakat sebagai subjek pembangunan, bukan objek, apalagi tidak terlibat dalam pembangunan.
Namun Anda bisa lihat sendiri pembangunan seperti apa yang terjadi di negeri ini. Saya akan menyebutkannya ngaco untuk meminimalisasi kata-kata buruk yang bisa terlontar. Anda dapat memilih kata-kata sendiri untuk mendeskripsikan pembangunan di tanah ibu pertiwi ini.

sumber foto:
elviera23.files.wordpress.com
2.bp.blogspot.com

waktu meninggalkanku

Habis sudah hari ini
Kalender memaksa tanggal untuk maju satu angka
Baru beberapa menit
Mungkin ditambah beberapa detik
Waktu seolah seorang diri di dunia ini
Seolah tak ada mahkluk lain
Berjalan sombong seorang diri
Meninggalkanku terbelakang
Tak mampu menyusul
Tertinggal
Saat ia terus melaju, aku tetap di sini
Tubuhku
Pikiranku
Dan kemampuannya
Kusadari manusia memiliki seribu keterbatasan
Namun kenapa keterbatasan itu kupelihara?
Menemaniku saat ditinggal sang waktu...

17 Desember 2009

Surat Om Pram untuk Perawan Indonesia


Om Pram. Orang banyak mungkin mengenalnya sebagai sastrawan. Lebih tepatnya novelis. Lalu bagaimana bila seorang Pramoedya Ananta Toer menulis surat. Surat setebal lebih dari 200 halaman. Surat bagi pembacanya yang lintas generasi, yang mudah disakiti, yang memiliki sisi lemah, yang sisi lemah itu walau banyak berkurang saat ini namun akan terus tertempel sebagai kodrat. Sebagai perempuan.

Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer adalah surat yang ia tulis selama masa pembuangan. Selama di Pulau Buru. Selama dihukum karena aroma PKI –Lekra- menempel pada dirinya. Buku ini menuliskan kisah penipuan, atau lebih tepatnya paksaan terhadap perawan remaja Indonesia selama masa penjajahan Jepang. Masa di mana rakyat Indonesia paling tersiksa. Tak peduli pria atau wanita, tua atau muda, kaya atau miskin. Tetap dihinggapi ‘kesialan’ akibat keserakahan Jepang.

Jugun Ianfu atau perempuan penghibur bagi bala tentara Jepang. Itu lah menu utama surat Om Pram ini. Kisah di balik propaganda Dai Nippon itu menyisakan rasa perih, malu, nista, namun seolah lenyap begitu saja.

Buku ini bukanlah fiksi-fiksi berisi alterego Tirtho Adhi Soerjo, tokoh pers pribumi pendiri Medan Prijaji pada 1907 sebagai Minke dalam Tetralogi Buru. Namun kisah nyata yang didasari wawancara terhadap pihak-pihak yang berhubungan dengan kebohongan Jepang dalam menarik minat perawan muda nan cantik untuk jadi pemuas nafsu biologis serdadu matahari terbit.

Kisahnya ditulis dengan cukup baik. Naratif. Sehingga kesan Om Pram sebagai penulis novel masih terasa kental dalam bukunya ini. Karena merupakan karya lama, beberapa kosa kata dan istilah menggunakan ‘barang lama’. Namun tak usah khawatir, karena penerbit menyediakan catatan kaki untuk memecahkan masalah tersebut.

Buku ini layak dibaca bagi pemerhati masalah perempuan, hukum perang internasional, dan siapa pun yang merasa mencintai bangsa ini.

Detail buku:

Judul : Perawan Dalam Cengkeraman Militer

Penulis : Pramoedya Ananta Toer,Koesalah Soebagyo Toer

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) 93S04801|24

Tahun Terbit : 2000

Jumlah Hal : 218

Berat Buku : 255 gram

Jenis Cover : Soft Cover

Dimensi (L x P) : 210 X 140 mm