06 April 2010

Cerita dari Dapur Umum Pengungsi (1)

Antara Panggilan dan Kepuasan




Waktu menunjukkan jam 5 sore, artinya nasi bungkus untuk makan malam harus didistribusikan ke tangan pengungsi korban banjir Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Namun nasi baru selesai ditanak, dan lauk pauk masih ada di dalam penggorengan. Tenda peleton berwarna biru tua di halaman kantor Kecamatan Baleendah yang jadi dapur umum terasa semakin pengap.

"Kita telat, soalnya logistik dari kecamatan telat juga," ujar Dicky Permana (29) koordinator dapur umum PMI, Senin (8/2/2010).

Suara penggorengan beradu suara mulut-mulut yang mencoba melepaskan kepanikan karena pendistribusian makanan terlambat. Dengan kerja keras, sekitar jam 7 malam nasi bungkus kedua untuk hari ini bisa dinikmati ribuan pengungsi yang masih berdesakan di tiga titik, yaitu gedung PDIP, Gor KNIP, dan GORr Baleendah.

"Kirim ke Gor Baleendah dulu," komando Dicky pada rekannya.

Mereka sudah 10 hari berada di tempat ini, terhitung sejak Sabtu (30/1/2010). Menyediakan makanan bagi orang-orang yang sesungguhnya tidak mereka kenal. Dan yang pasti, meninggalkan keluarga dan orang-orang yang mencintai mereka. Lalu apa yang mereka cari?

"Kami di sini sudah panggilan hati. Beginilah kalau jadi PMI," ujar pria ramah ini.

Panggilan hati, itulah alasan mereka bekerja keras tanpa fasilitas memadai. Panggilan hati yang berbuah kepuasan batin setelah berbuat amal kebaikan.

"Kepuasan batin yang kami dapatkan," timpal M. Fitriyadi (27) yang telah bergabung dengan PMI Kabupaten Bandung sejak 2005 lalu.

Ternyata untuk memiliki panggilan hati yang dapat menghasilkan kepuasan batin bukanlah perkara instan. Untuk memiliki panggilan hati seperti ini, latar belakang kegiatan serupa cukup diperhatikan. Setidaknya hal ini terlihat dari banyaknya sukarelawan yang pernah menjadi anggota palang Merah remaja (PMR) atau Korps Suka Rela (KSR) di kampus mereka dulu.

"Biasanya yang menjadi sukarelawan di PMI adalah orang-orang seperti itu," lanjut Fitriyadi.

Panggilan hati ini juga bukan hanya soal kemanusiaan. Namun juga 'keluarga' yang seakan ditakdirkan bertemu di dapur umum. Mereka relawan yang terpecah saat tak ada bencana, sampai musibah kembali menyatukan.

"Bagi kami ini sih sudah kayak reuni," Dicky menimpali. Layaknya keluarga sesungguhnya, setiap kesempatan seolah tak ingin mereka lewatkan begitu saja. Canda tawa selalu terdengar walau mereka sadar tugas yang diemban tidaklah ringan. Kondisi ini sengaja dicoptakan sebagai stress management, agar mereka tak sampai pada titik jenuh yang berakibat kinerja mereka menurun.

"Biar tetep semangat," tutur Dicky.

Kini waktu menunjukan jam 10 malam, sementara hujan masih mengguyur kawasan Bandung Raya. Tenda yang kering terasa hangat dengan 'keluarga' yang berkumpul di tengahnya. Melepaskan lelah lewat saling bercengkrama dengan 'keluarga' mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar