06 April 2010

Cerita dari Dapur Umum Pengungsi (2)

Ditodong Samurai Karena Nasi Kurang

Bagi relawan dapur umum di lokasi bencana, pengalaman duka biasanya lebih mudah dijabarkan daripada pengalaman manis. Bagaimana tidak? Hidup mereka seolah harus direlakan demi orang lain, yang bahkan belum tentu mereka kenal.

"Banyaklah pengalaman yang kurang ngenakin," ucap Dicky Permana (29) koordinator dapur umum PMI, Senin (8/2/2010).

Kangen pada keluarga, adalah pengalaman paling umum dialami para sukarelawan. Waktu berminggu-minggu bisa dihabiskan dengan meninggalkan keluarga di rumah.

"Bisa aja pulang, tapi cuman ganti baju terus balik lagi ke sini," timpal, M. Fitriyadi (27) yang mendampingi sang koordinator dengan setia.

Tak jarang relawan pun merasa 'makan hati' saat membaca pemberitaan kurangnya makanan bagi pengungsi di media massa. Mereka merasa kemampuan untuk memenuhi semua kebutuhan korban tidaklah mudah. Ditambah persediaan logistik dan tenaga relawan pun ada batasnya.

"Sebenarnya bisa saja kami cukupkan makanan untuk semua pengungsi saat ini, tapi besok mereka mau makan apa?" ujar Dicky.

Tak berhenti sampai di sini, pengalaman buruk akibat pemberitaan pun pernah mengancam nyawa mereka. Kejadian ini terjadi saat menjadi relawan di Pangalengan yang tertimpa gempa. Seorang warga membaca berita tentang banyaknya bahan makanan yang tertumpuk, sementara para korban kekurangan makanan. Ia naik pitam dan mendatangi dapur umum sambil membawa samurai.

"Untung bisa kami jelaskan baik-baik, kalau bahan makanan itu tidak di sini. Kalau ada di sini, sudah kami buatkan makanan dari dulu juga," ceritanya.

Masalah membagi waktu pun kerap menyulitkan mereka. Jam kerja yang bisa mulai dari jam 2 pagi hingga jam 10 malam membuat mereka kadang lupa diri. Beberapa orang lupa menghubungi keluarga, beberapa lupa menjaga kesehatan, bahkan beberapa lagi lupa mandi.

"Tuh, yang pake baju ijo gak pernah mandi," seloroh Dicky sambil menunjuk temannya yang sedang memasak lauk pauk untuk pengungsi.

Pengalaman buruk pun pernah mereka alami saat membuka dapur umum di Baleendah menjalang Pemilu legislatif tahun 2009 lalu. Dicky mengatakan, ada donatur yang merupakan salah satu calon anggota legislatif di DPR. Tanpa sepengetahuan mereka, tim sukses sang caleg memberikan cap bergambar nama si Caleg dan partainya pada bungkus nasi yang dibagikan pada pengungsi.

"Kita kecolongan waktu itu, padahal PMI tak boleh didomplengi siapa pun. Kami ambil hikmahnya saja," kenang pria yang sehari-hari bertugas Kepala Sub Seksi Penanggulangan Bencana di PMI Kab Bandung.

Tak hanya menghadapi pemberitaan, korban yang labil, hingga orang-orang yang mencari keuntungan di atas kesulitan orang lain, relawan yang telah 'setia' bersama PMI pun sering dipusingkan karena sikap pemerintah yang masih bertindak secara parsial. Dicky mengatakan, mengatasi banjir di aliran Citarum harus dilakukan dari hulu hingga hilir. Bila hanya diperlebar di beberapa lokasi, hal itu hanya akan memindahkan banjir dari satu lokasi ke lokasi lain.

"Kalau enggak kapan beresnya," imbuhnya.

Sayangnya, PMI tidak memiliki kekuatan untuk banyak memberikan perubahan dalam hal tersebut. Hanya sebatas advokasi tentang kenyataan di lapangan karena terikat oleh kode etik palang merah. Sisanya, siap-siap saja meninggalkan keluarga demi kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar