21 September 2009

Enjoy Responsibly

Kira-kira bermula dari chat saya dengan sorang teman KKN waktu di Pangumbahan, Sukabumi. Kita sebut saya dia Nandang. Kita sebut begitu memang karena itu namanya. Kalo tidak salah percakapan kami seperi ini:

Nandang : minal aidin, hampura urang loba dosa (maaf, Saya banyak dosa)

Saya : sami2, tong sakali-kali deuinya, mun dua-tilu kali meunang (sama2, jangan sekali-sekali lagi ya, kalo dua-tiga kali boleh)

Nandang : hahaha, bae weh kan engke ge lebaran deui (biarin kan nanti juga lebaran lagi)

Saya : tidak harus menunggu lebaran untuk bermaafan, pas nyepi bisa, natal bisa, waisak bisa—sungguh saat itu tak ada pikiran Saya untuk sok bijak

Nandang : hahaha, maneh agama naon? (kamu agamanya apa?)

Seolah keluar begitu saja tanpa dipikir, Saya menjawab:

“Heineken!, Enjoy Responsibly!” (maaf dang, saya lupa kamu ada masalah dengan linguistik)

Saya lupa apakah enjoy responsibly itu hanya ada di botol Heineken, atau ada di botol minuman keras lain. Atau mungkin sama sekali tidak ada di botol Belanda itu. Tapi walaupun nggak sengaja, enjoy responsibly ada makna agama di dalamnya.

Enjoy: agama kan katanya membawa kebaikan. Maka kebaikan yang indah itu akan kita nikmati. Responsibly: saya tidak bisa menjelaskannya dengan baik. Mungkin maksudnya karena kita berdampingan dengan miliaran homo sapiens lain, makanya gak boleh berbuat sembarangan. Atau karena setiap perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.

Tiba-tiba inget masalah agama, lalu Saya inget karena musimnya ramadhan ama lebaran, makanya banyak masukan spiritual yang saya terima. Acara talk show di TVone misalnya. Saat itu, stasiun Bakrie ini menghadirkan Mario Teguh, si bijak berrambut kepala jarang yang Sahabat Zuper itu. Dia bilang kalau muslim Indonesia itu masih banyak yang salah kaprah. Misalnya puasa itu menahan nafsu, namun justru belanja di bulan suci ini jauh melambung dari bulan biasa.

Betul pak Mario!!! Saat-saat seperti ini biaya untuk belanja meningkat. Berita di TV dan Koran mengangkat tema meningkatnya harga cabe dan teman-teman di pasar. Ajakan buka bersama menjamur. Malah ada tradisi harus membeli baju baru, celana baru, sarung baru atau apapun yang baru biar gak malu sama tetangga.

Belum lagi keharusan untuk mudik dan membawa oleh-oleh buat saudara di kampung। Bukan karena perintah agama, karena Saya rasa tidak ada perintah agama untuk mudik dan mewajibkan membawa oleh-oleh. Tapi ini tradisi yang telah berevolusi menjadi kewajiban. Kalau enggak, apa kata tetangga?! Kewajiban ini telah merusak puasa kalau kata Saya. Karena keharusan ini nggak sesuai dengan prinsip kesederhanaan dan pengekangan nafsu ala bulan ramadhan.


Lalu ada lagi. Teman kuliah Saya, namanya Ahmad Faisal Nurghani. Karena kepanjangan kita panggil saja dia Ical. Si Ical ini sekonyong-konyong datang ke rumah orang tua Saya, tempat Saya nebeng sampai saat ini. Dia maen internet, baca majalah National Geographic, dan tidur. Padahal niatnya adalah mengajak saya menyantroni launching bukunya Pidi Baiq, Drunken Marmut. Dengan susah payah saya menyadarkan dia untuk kembali ingat pada niat mulianya itu. Dan akhirnya berhasil.

Singkatnya kami menikmati acara launching di Gedung Indonesia Menggugat ini, walaupun lebih tepatnya dibilang konser Pidi. Sangat menikmati. Apalagi makanan saat berbukanya. Nikmat sekali. Terima kasih Pidi Baiq.

Setelah solat maghrib dan makan (tentu saja), acara dilanjutkan, yaitu sharing. Pidi bercerita tentang agama, karena dia bilang “walaupun tidak taraweh kita harus membicarakan agama, agar terlihat islami”. Yang tinggal di sana tinggal segelintir orang, yang lainnya SMP (Sudah Makan Pulang), masih untung bukan Sudah Makan Pingsan (karena makanannya beracun). Tapi Saya tidak perduli sama mereka, atau menanyakan mereka mau pada kemana. Karena memang Saya tidak kenal mereka.

Saat itu Haji Pidi (Saya pakai gelar haji biar keliatan lebih agamis) mengatakan kalau dia kurang setuju dengan orang mengaji menggunakan toa. Tentu saja di mesjid, ngapain juga di rumah masang toa. Kecuali mungkin kalau di rumahnya jualan toa. Dia tidak setuju karena menganggap mengganggu tetangga, apalagi kalau lagi enak-enak tidur… dan “Tuhan pun tidak tuli sehingga hanya bisa mendengarkan kita mengingat nama-Nya bila memakai pengeras suara” ucapannya yang selalu Saya ingat.

Mungkin maksud orang-orang yang mengaji dengan memakai toa adalah untuk mengajak tetangga mereka untuk mengaji bersama. Mulia memang. Namun apakah benar itu niatnya. Atau justru ada bahaya laten. Bahaya sangat bahaya yang tersembunyi, tak disadari. Yaitu ria.

Bagaimana kalau terselip pikiran “woy orang-orang malas, gua punya toa bagus, keraskan suaranya?!”, atau “hey orang-orang bego, nih dengerin gua bisa ngaji, baguskan tadjwidnya?!” atau bahkan “iseng ah, biar eksis!”। Wah-wah bahaya…


Masih ada lagi. Saya menonton film lama yang lucu. God Must be Crazy. “Tuhan pasti sinting” kata Xi karena telah menurunkan botol Coca Cola kosong yang mengakibatkan malapetaka bagi sukunya, atau lebih tepat keluarganya. Karena satu suku isinya keluarganya semua.

Walaupun lucu, Saya menyalahkan Xi karena menganggap Tuhan telah sinting. Walaupun itu Cuma film, walaupun Tuhannya berbeda dengan Tuhan yang Saya percaya, dan walaupun dia orang Bostwana. Saya menyalahkan karena dia bodoh, dan syukur kebodohannya tidak membunuh puluhan atau ratusan orang.

Xi dan keluarganya tidak mengerti Tuhan. Salah menafsirkan Tuhan yang disertai salah mempersepsi orang lain yang diinterpretasikan melalui teknologi yang bernama botol. Dengan kemampuan kognitif seadanya, ia salah menafsirkan botol yang hasil temuan orang lain dari luar kampungnya itu. Dan menyalahkan Tuhan sebagai biang keroknya.

Bayangkan bila pemahaman seperti ini ada di dunia nyata. Tak perlu dibayangkan sebenarnya, karena memang sudah kejadian. Misalnya orang mengatasnamakan agama dan perintah Tuhannya untuk menyerang orang lain. Perang Palestina-Israel, terorisme di Indonesia, Penjajahan Spanyol di Amerika Selatan dan Tengah, dll.

Semua mengatasnamakan agama. Palestina melawan Israel seperti Islam melawan Yahudi. Padahal itu soal politik dan wilayah. Golda Meir, mantan Perdana Mentri Israel saja seorang Atheis, jadi ngapain bawa-bawa agama. Terorisme yang memakai bendera islam menganggap semua yang bukan kaumnya harus dibunuh dan bila ia mati akan mati Syahid. Perasaan kaum muslim banyak yang meninggal, bukannya membunuh sesama muslim adalah dosa besar? Yakin akan mati Syahid? Perasaan Rosululloh tidak pernah menyarankan untuk mati dengan cara seperti itu. Atau Spanyol mau menyebarkan Kristen di Amerika Selatan dan Tengah, ko malah menguras Emas dan menjadikan orang asli sana sebagai budak?

****************

Kalo bicara agama emang bisa panjang. Tapi Saya malas menuliskannya lagi karena Lucky Strike Saya sudah habis. Yang ingin Saya bagi di sini adalah apakah semangat Ramadhan dan lebaran telah kita pahami, bukan saja secara spiritual, namun juga sosial. Saya saja masih belajar.

Daud Ibrahim Shawni dalam bukunya Iblis Menggugat Tuhan menuliskan bahwa tanpa sikap kritis kita akan terjerumus ke lubang yang gelap karena kebodohan. Kebodohan akan hilang dengan bepikir. Saya berpikir maka Saya ada kata si Rene Descartes. Berpikir apakah kita menyalahi ajaran agama atau enggak. Berpikir tentang orang yang berbeda supaya mengerti dan tidak salah sangka.

Maka dengan berpikir apakah kita telah berjalan sesuai jalur yang dibuat Tuhan dalam agamanya, akan melahirkan kedamaian tidak saja bagi pemeluknya, namun bagi seluruh umat manusia, humanrace. Kalo udah gitu kita bisa menikmati nikmatnya hidup karena bertanggung jawab sama apa yang kita percaya.

Enjoy Responsibly…

Saya pun berpikir kalo Saya banyak salah, banyak dosa sama orang-orang. Makanya karena Saya mengkritisi diri Saya yang banyak dosa ini, Saya meminta maaf sama banyak orang ini. Saya mengaku salah dan meminta belas kasihan semua dengan mau menerima maaf dan melupakan dosa yang telah lalu. Kalau saling memaafkan hidup akan jauh lebih indah.

Selamat Idul Fitri 1430 H……

1 komentar: