27 September 2009

Pelarian Wayang Golek: Berubah!





Saat mebuka-buka majalah ekonomi berbahasa Inggris di sebuah toko buku, ada foto yang menarik perhatian saya. Foto ini manampilkan profil orang terkaya ke 76 di Indonesia yang sedang berpose di depan meja lobi perusahaannya. Ia adalah Sudhamek AWS.
Namun yang membuat saya tertarik bukanlah pemilik perusahaan makanan nasional ini. Melainkan sesosok boneka kayu yang berdiri penuh kharisma di meja lobi tersebut.
Setelah diperhatikan, ternyata sosok tersebut adalah Batara Kresna dalam dimensi Wayang Golek. Namun penasehat Pandawa dalam epik Mahabrata ini bukanlah Kresna yang biasa. Ia seolah bersolek sedemikian rupa agar matching dengan interior di lobi tersebut.
*****
Ternyata, bukan tanpa sebab Kresna berbubah. Apa yang terjadi pada Kresna adalah sebuah konsekuensi. Konsekuensi yang harus dipilih agar Wayang Golek seperti dirinya, tetap diterima di masyarakat yang sudah diberondong oleh kemajuan teknologi.
Agar Wayang Golek tidak hilang digerus kemajuan zaman ini, ternyata para pengrajin Wayang Golek memutar otak agar budaya warisan nenek moyang ini tetap “laku”. Mereka memodifikasi Wayang Golek agar sesuai dengan perkembangan zaman. Walau tidak semua seniman adat ini melakukannya.
Ternyata di balik usaha melestarikan kesenian Wayang Golek ini, ada sebuah perubahan yang cukup drastis. Wayang Golek yang sebelumnya dikenal sebagai sebuah seni pentas, kini bergulir menjadi sebuah karya seni rupa. Bentuk fisik Wayang sangat berkembang sesuai dengan keinginan masyarakat meninggalkan seni sastranya yang seolah stagnan dan dilupakan.
Hal inilah yang dirasakan oleh pakar seni rupa dari ITB, Drs. Yanyan Sunarya, M.Sn. Menurutnya, cerita Wayang yang hanya berkutat pada Ramayana dan Mahabarata tidak bisa terus mengikuti keinginan khalayak yang terus berubah. Sehingga untuk mengatasinya, beberapa seniman melakukan perubahan agar sesuai dengan masyarakat masa kini.
”Acara Wayang yang benar-benar sesuai pakem, isinya semua nasihat, dan menggunakan bahasa buhun, mungkin komunikatif pada zaman dulu. Namun kini zamannya sudah beda sehingga banyak dilakukan retouch,” terangnya.
Sementara pemerhati seni rupa, Ali Supojo Putro mengungkapkan bahwa perubahan yang dilakukan seniman Wayang Golek, terpengaruh pula oleh pola pikir yang mereka anut. Hal ini disebabkan karena beberapa seniman tetap memegang teguh bentuk asli Wayang yang “kuno” sebagai sebuah warisan. Mereka lebih memilih mempertahankan unsur nilai budaya ketimbang memperbaharui tampilan fisik yang lebih menjual.

*****
Di antara para seniman yang “melanggar pakem”, saya menemukan beberapa di Giriharja, Baleendah. Tempat ini adalah salah satu sentra budaya Wayang Golek di jawa Barat. Di tempat inilah para seniman Wayang Golek berkumpul, termasuk dalang yang telah mendunia, Asep Sunandar Sunarya.
Para seniman di sini merombak “karya tua” mereka. Hal tersebut dapat dilihat dari perubahan ukuran, bahan, anatomi, dan desain, namun image yang dimiliki tetap sama. Dalam membuat sebuah Wayang yang bermuatan seni dan budaya yang kuat, memang tidak sembarangan perubahan dapat dilakukan.
Pengembangan Wayang yang dilakukan pengrajin di Giriharja adalah manifestasi dari pergeseran nilai akibat pergeseran fungsi dari Wayang. Konsumen mereka yang sebagian besar dari luar negeri, menjadikan Wayang sebagai penghias rumah, bukan lagi sarana hiburan dan pendidikan.
”Masyarakat selain menginginkan karya seni yang adiluhung, juga pantas untuk dipajang karena memiliki nilai estetika,” tutur Barnas Sabunga, salah satu seniman di desa ini. Pesanan konsumen yang berkembang, menuntut ditemukannya ide-ide baru untuk membuat sebuah karya yang bermutu tinggi. Sehingga sebuah karya yang indah, atraktif, dan komunikatif, bisa dibuat.
Sesuai dengan fungsinya untuk memenuhi keinginan masyarakat modern, pengrajin memberlakukan kebijakan yang mengkiuti pesanan mereka. Misalnya memberikan kebebasan pada konsumen untuk memilih warna pada Wayang pesanannya. Sehingga Wayang yang konsumen pesan dapat dipilih sesuai selera dan kebutuhan mereka.
Contohnya konsumen dapat memesan pasangan Rama dan Sinta dengan balutan pakaian berwarna biru. Ini dilakukan agar sesuai dengan warna dekorasi di ruang tamu mereka. Akan tetapi tetap ada pakem yang tidak bisa dilanggar. Misalnya Hanoman harus berwarna putih atau wajah Rahwana harus tetap berwarna merah.
Alhasil, masyarakat memang menyukainya, terutama dari mancanegara yang menganggap hal-hal yang berbau oriental adalah eksotis. Namun, Wayang Golek yang dulunya meliuk indah ditangan dalang, kini lebih banyak nangkring di ruang tamu. Wayang-Wayang ini kini menjadi salah satu aksesoris interior yang paling diminati.

*****
Bagi konsumen dari dalam negeri, untuk memesan Wayang Golek sesuai dengan keinginan hati dapat dilakukan dengan mendatangi langsung sentra-sentra kerajinan. Dengan begitu dapat langsung berkonsultasi dengan para pengrajin.
Namun bagi konsumen dari luar negeri, pemesanan biasanya dilakukan lewat pihak ketiga yang juga berperan sebagai importir. Konsumen dari luar negeri memesan Wayang kepada importir yang kemudian “dipingpong-kan” ke pihak pengrajin. Dengan cara seperti ini, pengerjaan Wayang dan pengirimannya dapat dilakukan dalam satu jalur yang jelas.
Bahkan masyarakat luar negeri pun tak mau ketinggalan dalam memasarkan Wayang Golek. Contohnya dapat dilihat dalam salah satu situs di dunia maya. Beberapa orang yang telah mengenal pengrajin di Indonesia, melibatkan diri sebagai penyalur dalam bisnis ini.

Perubahan dalam diri Kresna dkk mungkin memang lebih disukai oleh masyarakat. Walaupun mereka harus “pensiun” dari pementasan dan menikmati “masa pensiunnya” di ruang tamu.
“Yang penting warisan nenek moyang kita itu tetap ada bersama kita,” tutur Mayang, seorang konsumen yang saya temui di salah satu galeri Wayang Golek.
Ya, mungkin hal itu benar juga. Lalau, apa Kamu tertarik untuk ikut melestarikan budaya sekaligus memiliki hiasan rumah atau kostan yang estetik?

2 komentar:

  1. maaf bung, kemaren-kemaren saya lupa passwordnya,,sekarang inget,,insya allah nambah...hohoho

    BalasHapus